Ada cucian yang harus dijemur, ada nasi basi yang harus dibuang dan piring yang harus dicuci, ada paket yang harus dikirim untuk Sofia yang ia perlukan di Bogor tanggal 23 kelak, dan aku memutuskan untuk mengambuhkan diri pukul 12 tengah hari...
* * *
Lusa lalu aku kambuh. Daya ponsel ku padam, rumahku pun gelap, rekanku membutuhkanku, dan aku tidak hadir untuk mereka.
Malam menjelang, aku memesan makan secara daring, sudah kubayar daring pula dan kuminta digantung di gagang pintu saja sehingga aku tak harus menerimanya tatap muka. Whatsapp kunonaktifkan sehingga tak ada pesan yang bisa masuk dan centangku tetap satu ketika ponsel tersambung ke internet untuk memesan makanan, aku belum siap kembali.
30 menit berlalu, perutku akhirnya takluk sehingga kuambil makanku, dan mendapati Daus yang telah menunggu hampir satu jam di teras untuk kubukakan pintu. Sempat pula Ia mengobrol dengan kurir makan ku ketika sampai, bel rumah tidak berbunyi ketika Ia tekan karena sambungan listriknya dicopot ketika Sofia hendak menyalakan treadmill ketika Ia liburan kesini 4 hari yang lalu. Ia pulang 2 hari yang lalu.
* * *
Sesuatu yang selalu berusaha kutolak, yang selama ini tidak bisa kuterima sebagai kenyataan, adalah kesombonganku sebagai makhluk lemah yang hidup di muka bumi, yang sepantasnya takluk akan kehendak takdir yang diatur oleh tuhan.
Nasihat bunda selalu ku abaikan, ketika Ia terus mengoceh bahwa yang kubutuhkan adalah tuhan, yang kubutuhkan adalah ibadah, tapi bagaimana mungkin meminta pertolongan dari sesuatu yang hanya eksis secara konseptual? Bagaimana cara mempercayai hal itu? Bagaimana cara bergantung pada sesuatu yang tidak bisa di 'nyata' kan oleh akal pikiran?
Kiranya begitu olehku, jika hidupku sudah tidak berantakan, barulah ibadah dapat kutunaikan dengan taat, pikirku. Namun sepertinya bukan begitu cara kerja agama, cara kerja tuhan, cara kerja hati. Perilaku tidak bisa membengkokkan kehendak hati, justru sebaliknya.
Nasihat bunda tidak lagi mempan padaku, hidupku yang porak poranda selalu Ia kaitkan pada ibadah, pada tuhan. Bukan niatku untuk menjadi durhaka, tapi kalau hatiku belum mau kesana, seyogyanya harus bagaimana? Nasihatnya menjadi ocehan mengesalkan, tidak ada kata-katanya yang bisa menyusup dalam hatiku.
Bunda taat beribadah, pasti enak bisa mempunyai kepercayaan tak tergoyahkan seperti itu dalam hatinya. Jika tertimpa kesulitan, cukup meneguhkan hati dan percaya akan takdir yang diatur tuhan. Namun aku tidak bisa melakukan itu, selama ini, aku menghadapi dunia dengan logika, semua adalah rumus yang bisa terpetakan jika aku berusaha cukup keras menurutku.
Tapi apa yang selalu kukatakan pada orang yang menceritakan kesulitannya padaku?
"Badai hanya lah sementara, badai kan berlalu, surya kan tiba, teruslah berlayar, teruslah bertahan, teruslah menerjang."
Munafik, standar ganda, kontradiktif, aku yang berprinsip logis, menasihati orang dengan rasa, dengan meyakinkan keteguhan hati.
Lantas apa jadi nya aku ketika terperangkap dalam lubang konseptual yang persis? Lubang yang mencekik hati, menggoyahkan iman, meranggaskan tekad.
"Sebentar lagi, waktu akan menyembuhkan segala luka, biar ku istirahat sejenak, jalan masih panjang."
* * *
Malam itu Daus bermalam dirumahku, membawa kaset-kaset musik orisinil koleksinya untuk diputar di HiFi Sound System milik ayah sebelum lelap menjemput. Musik Sigur Ros diputar dengan volume sedang pukul 00:30 dini hari seraya aku dan nya dibuai hingga terlelap oleh alunan nada dari dalam kaset. Diselingi reff "Bokura no Seiza" Shirakami Fubuki satu jam setelahnya dalam bentuk alarm ponselku, aku sudah lelap sedangkan Daus belum.
Paginya Daus hengkang, aku mandi sejenak sebelum berangkat menjemputnya yang bersiap-siap daribkos. Siangnya kami berdua ke kediaman mas Benz untuk konsultasi setting perpanggungan dan sebagainya, termasuk permasalahanku.
Mas Benz mewejangkan beberapa penawaran, perbanyak menggantungkan diri pada Dzat yang maha kuasa, berolahraga atau memenuhi kebutuhan tubuh baik secara fisik atau psikis, bisa berupa nutrisi atau hiburan, kepuasan diri, atau ke psikiater untuk menangani permasalahannya secara logis, seperti prinsip yang aku pegang.
Nasihat ini mengejutkan bagiku, karena mas Benz adalah sosok yang tidak terlihat begitu dekat dengan agama ketimbang aku. Ia peminum, Ia pengguna ganja, Ia biang onar semasa mudanya, namun ada kerendahan hati darinya yang tidak kumiliki ketika menyangkut keimanan pada Dzat yang lebih tinggi dari dunia seisinya.
Aku masih terlalu sombong, secara tidak sadar pun aku masih memandang rendah orang disekitarku dengan segala bias kepercayaan dan prinsip yang kupegang. Dan yang paling fatal, aku tidak menggantungkan diri pada tuhan. Mas Benz, orang yang kupandang sebagai pendosa itu, berserah diri pada tuhan. Barangkali derajatnya jauh lebih tinggi dibanding aku yang berpikir aku diatasnya hanya karena aku pernah lebih lama taat beribadah ketimbangnya.
* * *
Aku paham secara logika, keimanan dibutuhkan untuk hidup sehat. Hatiku harus sehat untuk membenahi hidupku, ibadah adalah akar segala perkara kehidupan. Namun cara bunda menasihatiku, dengan taat beribadah, dengan sifat memaksa, tidak mendapat simpatiku. Niatnya baik, namun hal itu tidak beresonansi dalam hatiku. Justru ketika nasihat itu datang dari mas Benz, orang yang paling tidak kuduga untuk mendapat nasihat yang sama, akhirnya hatiku tergerak.
Aku yakin bunda tidak henti-hentinya berdoa di sepertiga malam terakhir untukku, adik-adikku, ayah, dan keluargaku. Bahkan setelah semua yang terjadi, menghadapi keras batunya hatiku yang bandel mendengarkan nasihatnya, doanya masih didengarkan dan dikabulkan tuhan. Pertemuanku dengan mas Benz adalah wujud manifestasi doa malam-malam tersebut, kurasa. Aku akan mencoba bun, mas, akan kucoba.
No comments:
Post a Comment